Halaman

Kamis, 31 Maret 2011

Tingkatan Sufi Menurut Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah membagi tingkatan sufi menjadi tiga macam; Shufiyah Al-Haqaiq (Tasauf Ekstensialis), Shufiyah Al-Arzaq (Tasauf Essensialis) dan Shufiyah Al-Rasmi (Tasauf Simbolis).
Mengenai Shufiyah Al-Haqaiq, Ibnu Taimiyah berkata; “Kaum sufi adalah jamaah orang-orang yang jujur dan dipercayai karena kejuhudannya dan ketekunannya dalam beribadah, maka hanya merekalah yang patut mendapat sebutan itu. Dan ada pernyataan seseorang mengatakan, bahwa kaum sufi itu adalah paling jujurnya ulama dan pemerintahan/penguasa, tanpa mengkhususkan pendapatnya kepada kaum sufi yang hidup pada masa Rasulullah (sahabat), kaum sufi dari tokoh tabi’ien atau tabi’it-tabi’ien.
Bila mereka dijuluki sebagai orang-orang yang jujur di Bashrah, maka para ulama fiqih daerah Kufah juga disebut orang-orang yang jujur dari Kufah. Dan mereka semua selalu berhati-hati di dalam menempuh jalan menuju ridha Allah dan Rasul-Nya, sebagai beban tanggung jawab mereka sebagai tokoh yang diteladani kaumnya. Kedua, pandangan Ibnu Taimiyah tentang Shufiah Al-Arzaq. Ia berkata; “Mereka adalah kaum sufi yang sangat berhati-hati di dalam beribadah…” kemudian Ibnu Taimiyah melanjutkan kata-katanya tentang Shufiyah Al-Arzaq; “Mereka adalah kaum sufi yang sebutannya terbatas pada cara berpakaiannya (wool) saja, atau tingkah lakunya dalam pergaulan sebagai contoh teladan bagi pengikut mereka.”
Pandangan Ibnu Taimiyah terhadap Kepribadian Kaum Sufi dan Kitab-Kitab Tasauf
Ibnu Taimiyah berkata, “Di dalam memahami jalan hidup yang ditempuh kaum sufi, orang-orang ramai yang keliru memandang mereka, bahkan mengecam tasawuf sebagai sumber ilmunya. Orang-orang itu pun berkata; kaum sufi adalah kelompok ahli bid’ah, yakni orang yang ibadahnya menyimpang dari ajaran sunnah Nabi, namun banyak diikuti oleh beberapa aliran, karena mereka mengaku sebagai paling istimewanya makhluk setelah para Nabi.”
Dan Ibnu Taimiyah menyanggah pendapat ini dengan kata-katanya; “Yang benar…, mereka adalah hamba-hamba yang taat kepada Allah untuk mendapatkan ridha-Nya, seperti sahabat Nabi dahulu. Di antara mereka ada yang mendekatkan diri kepada Allah dengan ketekunan ibadahnya, ada pula yang melalui safar (perjalanan musafir). Namun sesekali mereka ada yang keliru melangkah, maka dia bertaubat memohon ampunan atas kesalahannya.” Pada pendapatnya ini Ibnu Taimiyah menjelaskan ruh tasamuh (ramah dan murah hati) kaum sufi dan ahli salaf.
Ibnu Taimiyah akan menerangkan kepada kita tentang beberapa karya tulis sufi yang diantaranya adalah hasil rujukan dari kitab-kitab pendahulu mereka. Ia juga menyebutkan perbedaan-perbedaan yang mesti dibantah dan hadis-hadis dha’if dalam kitab itu. Akan tetapi dari cacat dan kebaikan suatu kitab, kita tidak akan luput dari manfaat yang ada di baliknya.
Suatu waktu, Ibnu Taimiyah pernah diminta komentarnya tentang kitab Ihyaa ‘Ulumuddien, karangan al-Ghazali dan kitab Qutul Qulub (Makanan Hati) karangan Abu Thalib al-Makki. Ia menjawab; “Kitab-kitab itu telah membawa dampak yang cukup besar di dalam membina rasa sabar, syukur, cinta kasih kepada Allah, tawakkal, dan tauhid seseorang. Maka Abu Thalib lebih banyak mengetahui daripadaku mengenai orang yang ahli dalam ilmu hati dari kalangan sufi.”
Setelah itu Ibnu Taimiyah memuji kata-kata al-Makki dan berkata; ” Wawasannya luas sekali dan jauh dari faham bid’ah. Padahal sulit sekali kita dapatkan hadis yang menunjukkan cara pembinaan hati, walaupun ada, itu adalah hadis dha’if dan maudhu’.”
Dan Ibnu Taimiyah menjelaskan, bahwa pembahasan al-Ghazali tentang Al-Mukhlikat (sifat-sifat yang merusak) dalam kitabnya yang berjudul Ihyaa Ulumuddien dipengaruhi oleh Al-Muhasibi melalui karya tulisnya Ar-Ri’ayah li Huquqillah.”
Ibnu Taimiyah berkata: “Sedangkan pembicaraan al-Ghazali tentang sifat-sifat yang merusak ( al-Mukhlikat) dalam kitab Ihyaa Ulumuddiennya seperti sifat sombong, riya, hasud dan lain-lain. Adalah nukilan dari kitab Ri’ayah al-Muhasibi diantara pendapatnya ada yang diikuti, ada yang ditentang dan ada yang menimbulkan berbagai pendapat ulama. Tetapi kitab Ihyaa Ulumuddien banyak mengandung manfaat.”
Ibnu Taimiyah tidak terlalu fanatik dengan karya al-Ghazali itu. Buktinya, Ia menganggap banyak faedah yang terkandung dalam kitab Ihyaa Ulumuddien, tetapi ia berkata; ” Dalam kitab itu ada materi pembahasan yang tercela sungguh di sana terdapat fikiran-fikiran filosof yang merusak tentang tauhid, kenabian, alam akhirat dan lain-lain.
Sampai tokoh Muslimin pun memungkiri karya tulis Abu Hamid. Maka berkata; “Apakah dia berpura-pura sakit?” sebagaimana diucapkan oleh Abu Bakar Ibnu al’Arabi, al-Hafid al-’Iraqi juga menyebutkan beberapa hadis dha’if dalam kitab Ihyaa Ulumuddien.
Barulah kemudian Ibnu Taimiyah berbicara tentang kandungan kitab Ihyaa Ulumuddien yang penuh kebaikan menuju ibadah dan penjelasan sekitar masalah pekerjaan hati, di samping penjelasannya mengenai peranan tokoh sufi yang bijaksana. Ia berkata,”Di dalam kitab Ihyaa Ulumuddien itu terdapat pandangan tokoh sufi yang bijaksana dan alim dalam mengetahui perbuatan-perbuatan hati berdasarkan al-Quran dan Sunnah Nabi.
Karya-Karya Tulis Sufi Ibnu Taimiyah
1. At-Tuhfah al-’Iraqiyah fi A’mal al-Qalbiyah (Kalangan Iraq tentang perbuatan-perbuatan Hati)
Dalam kitab ini Ibnu Taimiyah berkata; “Pembahasan singkat tentang kekuatan (peran) hati dalam kehidupan menusia yang kita sebut dengan ahwal dan maqaamat adalah sebahagian dari dasar kepercayaan dan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, tawakkal, ikhlas, syukur, sabar (menerima takdir Allah), takut (kepada Allah), raja’ (berharap kepada Allah).
Dan akan kita ketahui, bahwa Ibnu Taimiyah sering menggunakan istilah-istilah kaum sufi terdahulu di dalam kitabnya, seperti kata al-maqamat wal-ahwal.” Istilah ini sudah lama dikenal dan dipergunakan oleh mereka.
Di dalam menafsirkan makna al-Maqamat wal-ahwal, Ibnu Taimiyah menyamakannya dengan arti rasa cinta, tawakkal, ikhlas, raja’, takut kepada Allah (khauf) dan syukur. Dan dalam risalahnya ini, ia menjelaskannya secara rinci sebagaimana lazimnya kitab-kitab para sufi.
Qaidatul Mahabbah (Dasar Cinta Kasih)
Ibnu Taimiyah adalah seorang sufi yang memiliki rasa cinta. Berikut pernyataannya dalam risalah berjudul “at-Tuhfah al-’Iraqiyah fil A’mal al-Qalibiyah”; “… Adapun langit, bumi dan apa yang berada diantara keduanya, matahari, bulan, gugusan bintang dan lapisan atmosfir serta awan, hujan, juga tumbuh-tubuhan adalah tanda kekuasaan Allah yang dititipkan kepada langit dan bumi yang patuh mengerjakan segala perintah yang dititahkan kepadanya.
Pada akhir risalahnya itu, Ibnu Taimiyah berkata: “Sudah kita ketahui, bahwa semua gerakan unsur dalam itu adalah bersumber dari rasa cinta kasih kepada sang Khalik (pencipta)”. Dan satu-satunya cara Ibnu Taimiyah mencintai Tuhannya adalah menganut ajaran agama yang diridhai Allah, karena hanya itulah satu-satunya perantara yang akan menyampaikan semua amal baiknya kepada Illahi.
Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa ia setuju dengan pandangan al-Fadhil bi ‘Iyadh tentang sebuah ayat al-Quran: “Agar Dia menguji siapakah di antara kamu sekalian yang lebih amalnya.” (Hud:7)
Kemudian dia melanjutkan; …dengan ikhlas dan benar: Murid-muridnya bertanya; “mengapa mesti ikhlas dan benar?” AL-Fadhil menjawab; “Karena Allah tidak akan menerima perbuatan benar tanpa didasari ikhlas Lillahi Ta’ala, pun sebaliknya Dia tidak meridhai amal yang kamu dasari hati ikhlas sedang itu adalah perbuatan salah, maka amalmu harus didampingi keduanya, ikhlas dan benar”.
Seperti juga Asy-Syubli meriwayatkan, bahwa Ibnu Taimiyah berpandangan …. “rasa cinta harus dibuktikan dengan melaksanakan perintah Allah.” Dan ia mengulang kata-katanya; “rasa cinta itu menuntut dilaksanakannya kewajiban dengan sempurna, dan kesempurnaan cinta kasih akan membawa kepada amal yang sempurna pula. Sedangkan maksiat adalah suatu hal yang mengurangi cintanya seorang hamba.”
Berikut ini Asy-Syubli berpendapat tentang cinta kepada Allah:
“Kamu durhaka kepada Allah, padahal kamu berharap cintanya. Hal itu jelas tidak logik, bila cintamu itu tulus, pastilah kamu mentaatinya. Sesungguhnya orang yang bercinta itu patuh kepada yang dicintainya.”
2. Kitab Al-Istiqamah
Salah satu judul buku sufi Ibnu Taimiyah yang lain adalah “Qaidatun fi Wujubil Istiqamah wal I’tidal (prinsip dasar kejujuran dan keadilan). Setelah mendengar penjelasan Ibnu Taimiyah dalam buku ini, kelompok Mu’tazilah dan Asy’ariyah beserta para pengikutnya mengecamnya dengan ilmu kalam. Namun tidak mudah bagi ulama sufi untuk mengikuti kelompok tersebut, karena telah merasa jemu dengan ilmu kalam mereka, bahkan ketekunannya menelaah karya-karya sufi Ibnu Taimiyah semakin meningkat.
Di dalam bukunya itu pula, Ibnu Taimiyah menulis satu fasal yang merupakan sanggahan terhadap risalah Abu al-Qasim al-Qusyairi. Ibnu Taimiyah berkata: “Ada satu pasal dalam risalah Abu al-Qasim al-Qusyairi yang terkenal itu menyebutkan adanya perpecahan pandangan kaum sufi terhadap ilmu kalam. Dan dia menyatakan sebagian kaum sufi menyokong pada kelompok Asy’ariyah. Itu hanyalah dugaan Abu al-Qasim al-Qusyairi sebagaimana halnya Abu Bakar bin Faruk dan Abu Ishak Al-Asfarayaini. Kemudian Ibnu Taimiyah menambahkan; “Abu al-Qasim itu telah membuat bingung kaum sufi dengan ilmu kalam kelompok Asy’ariyah dan Kilabiyah.”
Seringkali Ibnu Taimiyah menerangkan kedudukan tokoh kaum sufi, bahwa mereka tetap berpegang pada ajaran sunnah Nabi dan sebaliknya menolak pandangan kelompok Kilabiyah dan Asy’ariyah yang menganut faham ilmu kalam. Kata-kata Ibnu Taimiyah ini adalah sindiran kepada al-Qusyairi. Pada akhir kitabnya ini Ibnu Taimiyah lebih banyak menyanggah ilmu kalamnya al-Qusyairi.
Di sarikan dari buku Tasawuf Menurut Ibnu Taimiyah karya Dr. Thiblawy Mahmoud 

TASAWUF ANTARA AL-GHAZALI DAN IBNU TAIMIYAH.’

Tasawuf. Kata ini termasuk kata yang paling sering menimbulkan kontroversi. Dan sebagaimana layaknya hal-hal kontroversial lainnya, tentu saja tasawuf bergulir terus antara yang pro dan yang kontra dengannya. "Perbincangan" tentang tasawuf ini akan semakin hangat jika kata ini dikaitkan dan dihubungkan dengan dua tokoh penting dalam sejarah peradaban Islam. 

Tokoh pertama adalah Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali, atau yang lebih dikenal sebagai Imam Al-Ghazali.
Sementara tokoh yang kedua adalah Syaikhul Islam Ahmad bin Abdil Halim bin Taimiyah. Semoga Allah merahmati mereka semua.
Pihak yang pro dengan tasawuf biasanya akan menyanjung dan menjadikan Imam Al-Ghazali sebagai rujukan, dan sekali lagi; biasanya-menganggap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagai musuh bebuyutan.

Demikian pula dengan pihak yang kontra terhadap tasawuf. Jika mereka ditanya, biasanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah salah satu rujukan utama mereka, dan Imam Al-Gjazali adalah tokoh yang harus diwaspadai.

PENDAPAT IBNU TAIMIYAH TENTANG TASAWUF:
Tingkatan Sufi Menurut Ibnu Taimiyah membagi tingkatan sufi menjadi tiga macam; Shufiyah Al-Haqaiq (Tasauf Ekstensialis), Shufiyah Al-Arzaq (Tasauf Essensialis) dan Shufiyah Al-Rasmi (Tasauf Simbolis).Mengenai Shufiyah Al-Haqaiq, Ibnu Taimiyah berkata; "Kaum sufi adalah jamaah orang-orang yang jujur dan dipercayai karena kejuhudannya dan ketekunannya dalam beribadah, maka hanya merekalah yang patut mendapat sebutan itu.

Dan ada pernyataan seseorang mengatakan, bahwa kaum sufi itu adalah paling jujurnya ulama dan pemerintahan/penguasa, tanpa mengkhususkan pendapatnya kepada kaum sufi yang hidup pada masa Rasulullah (sahabat), kaum sufi dari tokoh tabi’ien atau tabi’it-tabi’ien.
Bila mereka dijuluki sebagai orang-orang yang jujur di Bashrah, maka para ulama fiqih daerah Kufah juga disebut orang-orang yang jujur dari Kufah.

Dan mereka semua selalu berhati-hati di dalam menempuh jalan menuju ridha Allah dan Rasul-Nya, sebagai beban tanggung jawab mereka sebagai tokoh yang diteladani kaumnya. Kedua, pandangan Ibnu Taimiyah tentang Shufiah Al-Arzaq. Ia berkata; "Mereka adalah kaum sufi yang sangat berhati-hati di dalam beribadah..." kemudian Ibnu Taimiyah melanjutkan kata-katanya tentang Shufiyah Al-Arzaq; "Mereka adalah kaum sufi yang sebutannya terbatas pada cara berpakaiannya (wool) saja, atau tingkah lakunya dalam pergaulan sebagai contoh teladan bagi pengikut mereka."Pandangan Ibnu Taimiyah terhadap Kepribadian Kaum Sufi dan Kitab-Kitab Tasauf:Ibnu Taimiyah berkata, "Di dalam memahami jalan hidup yang ditempuh kaum sufi, orang-orang ramai yang keliru memandang mereka, bahkan mengecam tasawuf sebagai sumber ilmunya.

Orang-orang itu pun berkata; kaum sufi adalah kelompok ahli bid’ah, yakni orang yang ibadahnya menyimpang dari ajaran sunnah Nabi, namun banyak diikuti oleh beberapa aliran, karena mereka mengaku sebagai paling istimewanya makhluk setelah para Nabi."Dan Ibnu Taimiyah menyanggah pendapat ini dengan kata-katanya; "Yang benar..., mereka adalah hamba-hamba yang taat kepada Allah untuk mendapatkan ridha-Nya, seperti sahabat Nabi dahulu.

Di antara mereka ada yang mendekatkan diri kepada Allah dengan ketekunan ibadahnya, ada pula yang melalui safar (perjalanan musafir). Namun sesekali mereka ada yang keliru melangkah, maka dia bertaubat memohon ampunan atas kesalahannya." Pada pendapatnya ini Ibnu Taimiyah menjelaskan ruh tasamuh (ramah dan murah hati) kaum sufi dan ahli salaf.Ibnu Taimiyah akan menerangkan kepada kita tentang beberapa karya tulis sufi yang diantaranya adalah hasil rujukan dari kitab-kitab pendahulu mereka. I

Ia juga menyebutkan perbedaan-perbedaan yang mesti dibantah dan hadis-hadis dha’if dalam kitab itu.
Akan tetapi dari cacat dan kebaikan suatu kitab, kita tidak akan luput dari manfaat yang ada di baliknya.Suatu waktu, Ibnu Taimiyah pernah diminta komentarnya tentang kitab Ihyaa ‘Ulumuddien, karangan al-Ghazali dan kitab Qutul Qulub (Makanan Hati) karangan Abu Thalib al-Makki. Ia menjawab; "Kitab-kitab itu telah membawa dampak yang cukup besar di dalam membina rasa sabar, syukur, cinta kasih kepada Allah, tawakkal, dan tauhid seseorang.

Maka Abu Thalib lebih banyak mengetahui daripadaku mengenai orang yang ahli dalam ilmu hati dari kalangan sufi."Setelah itu Ibnu Taimiyah memuji kata-kata al-Makki dan berkata; " Wawasannya luas sekali dan jauh dari faham bid’ah.

Padahal sulit sekali kita dapatkan hadis yang menunjukkan cara pembinaan hati, walaupun ada, itu adalah hadis dha’if dan maudhu’."Dan Ibnu Taimiyah menjelaskan, bahwa pembahasan al-Ghazali tentang Al-Mukhlikat (sifat-sifat yang merusak) dalam kitabnya yang berjudul Ihyaa Ulumuddien dipengaruhi oleh Al-Muhasibi melalui karya tulisnya Ar-Ri’ayah li Huquqillah."Ibnu Taimiyah berkata: "Sedangkan pembicaraan al-Ghazali tentang sifat-sifat yang merusak ( al-Mukhlikat) dalam kitab Ihyaa Ulumuddiennya seperti sifat sombong, riya, hasud dan lain-lain.

Adalah nukilan dari kitab Ri’ayah al-Muhasibi diantara pendapatnya ada yang diikuti, ada yang ditentang dan ada yang menimbulkan berbagai pendapat ulama.

Tetapi kitab Ihyaa Ulumuddien banyak mengandung manfaat."Ibnu Taimiyah tidak terlalu fanatik dengan karya al-Ghazali itu. Buktinya, Ia menganggap banyak faedah yang terkandung dalam kitab Ihyaa Ulumuddien, tetapi ia berkata; " Dalam kitab itu ada materi pembahasan yang tercela sungguh di sana terdapat fikiran-fikiran filosof yang merusak tentang tauhid, kenabian, alam akhirat dan lain-lain.

Sampai tokoh Muslimin pun memungkiri karya tulis Abu Hamid. Maka berkata; "Apakah dia berpura-pura sakit?" sebagaimana diucapkan oleh Abu Bakar Ibnu al’Arabi, al-Hafid al-’Iraqi juga menyebutkan beberapa hadis dha’if dalam kitab Ihyaa Ulumuddien.
Barulah kemudian Ibnu Taimiyah berbicara tentang kandungan kitab Ihyaa Ulumuddien yang penuh kebaikan menuju ibadah dan penjelasan sekitar masalah pekerjaan hati, di samping penjelasannya mengenai peranan tokoh sufi yang bijaksana. Ia berkata,"Di dalam kitab Ihyaa Ulumuddien itu terdapat pandangan tokoh sufi yang bijaksana dan alim dalam mengetahui perbuatan-perbuatan hati berdasarkan al-Quran dan Sunnah Nabi.

Karya-Karya Tulis Sufi Ibnu Taimiyah
1. AT-TUHFAH AL-’IRAQIYAH FI A’MAL AL-QALBIYAH
(Kalangan Iraq tentang perbuatan-perbuatan Hati)Dalam kitab ini Ibnu Taimiyah berkata; "Pembahasan singkat tentang kekuatan (peran) hati dalam kehidupan menusia yang kita sebut dengan ahwal dan maqaamat adalah sebahagian dari dasar kepercayaan dan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, tawakkal, ikhlas, syukur, sabar (menerima takdir Allah), takut (kepada Allah), raja’ (berharap kepada Allah).

Dan akan kita ketahui, bahwa Ibnu Taimiyah sering menggunakan istilah-istilah kaum sufi terdahulu di dalam kitabnya, seperti kata al-maqamat wal-ahwal." Istilah ini sudah lama dikenal dan dipergunakan oleh mereka.

Di dalam menafsirkan makna al-Maqamat wal-ahwal, Ibnu Taimiyah menyamakannya dengan arti rasa cinta, tawakkal, ikhlas, raja’, takut kepada Allah (khauf) dan syukur.

Dan dalam risalahnya ini, ia menjelaskannya secara rinci sebagaimana lazimnya kitab-kitab para sufi.

QAIDATUL MAHABBAH
(Dasar Cinta Kasih)Ibnu Taimiyah adalah seorang sufi yang memiliki rasa cinta. Berikut pernyataannya dalam risalah berjudul "at-Tuhfah al-’Iraqiyah fil A’mal al-Qalibiyah"; "... Adapun langit, bumi dan apa yang berada diantara keduanya, matahari, bulan, gugusan bintang dan lapisan atmosfir serta awan, hujan, juga tumbuh-tubuhan adalah tanda kekuasaan Allah yang dititipkan kepada langit dan bumi yang patuh mengerjakan segala perintah yang dititahkan kepadanya.

Pada akhir risalahnya itu, Ibnu Taimiyah berkata: "Sudah kita ketahui, bahwa semua gerakan unsur dalam itu adalah bersumber dari rasa cinta kasih kepada sang Khalik (pencipta)".

Dan satu-satunya cara Ibnu Taimiyah mencintai Tuhannya adalah menganut ajaran agama yang diridhai Allah, karena hanya itulah satu-satunya perantara yang akan menyampaikan semua amal baiknya kepada Illahi.Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa ia setuju dengan pandangan al-Fadhil bi ‘Iyadh tentang sebuah ayat al-Quran: "Agar Dia menguji siapakah di antara kamu sekalian yang lebih amalnya." (Hud:7)Kemudian dia melanjutkan; ...dengan ikhlas dan benar:

Murid-muridnya bertanya; "mengapa mesti ikhlas dan benar?" AL-Fadhil menjawab; "Karena Allah tidak akan menerima perbuatan benar tanpa didasari ikhlas Lillahi Ta’ala, pun sebaliknya Dia tidak meridhai amal yang kamu dasari hati ikhlas sedang itu adalah perbuatan salah, maka amalmu harus didampingi keduanya, ikhlas dan benar".

Seperti juga Asy-Syubli meriwayatkan, bahwa Ibnu Taimiyah berpandangan .... "rasa cinta harus dibuktikan dengan melaksanakan perintah Allah." Dan ia mengulang kata-katanya; "rasa cinta itu menuntut dilaksanakannya kewajiban dengan sempurna, dan kesempurnaan cinta kasih akan membawa kepada amal yang sempurna pula.
Sedangkan maksiat adalah suatu hal yang mengurangi cintanya seorang hamba."Berikut ini Asy-Syubli berpendapat tentang cinta kepada Allah:"Kamu durhaka kepada Allah, padahal kamu berharap cintanya. Hal itu jelas tidak logik, bila cintamu itu tulus, pastilah kamu mentaatinya. Sesungguhnya orang yang bercinta itu patuh kepada yang dicintainya."

2. KITAB AL-ISTIQAMAH
Salah satu judul buku sufi Ibnu Taimiyah yang lain adalah "Qaidatun fi Wujubil Istiqamah wal I’tidal (prinsip dasar kejujuran dan keadilan).
Setelah mendengar penjelasan Ibnu Taimiyah dalam buku ini, kelompok Mu’tazilah dan Asy’ariyah beserta para pengikutnya mengecamnya dengan ilmu kalam. Namun tidak mudah bagi ulama sufi untuk mengikuti kelompok tersebut, karena telah merasa jemu dengan ilmu kalam mereka, bahkan ketekunannya menelaah karya-karya sufi Ibnu Taimiyah semakin meningkat.

Di dalam bukunya itu pula, Ibnu Taimiyah menulis satu fasal yang merupakan sanggahan terhadap risalah Abu al-Qasim al-Qusyairi.

Ibnu Taimiyah berkata: "Ada satu pasal dalam risalah Abu al-Qasim al-Qusyairi yang terkenal itu menyebutkan adanya perpecahan pandangan kaum sufi terhadap ilmu kalam. Dan dia menyatakan sebagian kaum sufi menyokong pada kelompok Asy’ariyah. Itu hanyalah dugaan Abu al-Qasim al-Qusyairi sebagaimana halnya Abu Bakar bin Faruk dan Abu Ishak Al-Asfarayaini.

Kemudian Ibnu Taimiyah menambahkan; "Abu al-Qasim itu telah membuat bingung kaum sufi dengan ilmu kalam kelompok Asy’ariyah dan Kilabiyah."Seringkali Ibnu Taimiyah menerangkan kedudukan tokoh kaum sufi, bahwa mereka tetap berpegang pada ajaran sunnah Nabi dan sebaliknya menolak pandangan kelompok Kilabiyah dan Asy’ariyah yang menganut faham ilmu kalam. Kata-kata Ibnu Taimiyah ini adalah sindiran kepada al-Qusyairi.

Pada akhir kitabnya ini Ibnu Taimiyah lebih banyak menyanggah ilmu kalamnya al-Qusyairi.


PENDAPAT AL-GHAZALI TENTANG TASAWUF:

1. MAHABBAH ( CINTA ).Mahabbah ( cinta ) itu – pertama-tama – ada berlaku di antara Allah dan para wali-Nya. Al-Qur’an telah mengisyaratkan hal itu. Allah berfirman : Adapun orang-orang yang beriman itu sangat cinta kepada Allah ( Q.S 2: 165 ).

Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya ( Q.S 5: 54 ).Jika anda berkata dan nafsu Anda yang buruk itu memberontak, ”Bagaimana engkau mencintai orang yang tidak engkau lihat dan ia bukan dari jenismu ?” Sesungguhnya Anda mencintai Sang Pencipta melalui keindahan ciptaan-ciptaan-Nya yang tampak.
Perhatikanlah tanah yang luas beserta isinya berupa berbagai lukisan indah, sayuran, pepohonan, buah-buahan, dan sungai-sungai.

Lihatlah angkasa dan seisinya berupa pergantian siang dan malam ; matahari, bulan, serta planet-planet yang besar dan kecil. I
ni semua merupakan tanda-tanda ciptaan pencipta dan bukti keabadian keberadaan-Nya. Maha Suci Tuhan yang mencipta segala ciptaan. Karena itu, diri anda akan bimbang manakala anda memikirkan yang lebih agung daripada yang anda lihat dan yang anda dengar.

Yang menunjukkan kepada anda, sebagai bukti terkuat dan kecintaan kepada-Nya, adalah kenikmatan orang yang mendengar kalam-Nya. Sebab, ia merupakan mukjizat yang tiada bandingannya. Dengan itu, ditunjukkan kecintaan kepada yang Maha Berbicara.

2. ILMU DAN AMAL.Orang-orang yang di istimewakan ( al-Khawwash ) di antara makhluk-makhluk Allah itu ada tiga, yaitu ‘alim ( orang berilmu ), arif ( orang bijak ), dan nasik ( ahli ibadah / orang yang tekun beribadah ). ‘Alim adalah orang yang mengetahui dan menguasai ilmu-ilmu lahir, lalu mengamalkannya.
Ilmu itu banyak macamnya. Yang paling dekat adalah yang menunjukkan pada akhirat seperti ilmu syari’at, tafsir, ilmu hadits, bacaan Al-Qur’an, dan hapalan wirid-wirid yang disebutkan di dalam al-ihya.

Di antara ilmu-ilmu itu, ada yang berbahaya, seperti mengamalkan sihir-sihir dan perdukunan.

Dari sejumlah ilmu-ilmu yang dipahami, ada yang membantu anda memperoleh ilmu ke akhiratan. Karena itu, jadilah orang yang beramal, niscaya anda mencapai tujuan yang tertinggi di rumah Allah yang paling baik. Di sanalah, andamenetap tanpa kegelisahan. “Di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa”. ( Q.S 54 : 54 – 55 ).

3. MAKNA TASAWUF.
Engkau bertanya tentang apa itu tasawuf. Ketahuilah bahwa tasawuf itu ada dua hal, yaitu ketulusan kepada Allah dan pergaulan yang baik sesama manusia. Setiap orang yang tulus kepada Allah dan membaguskan pergaulannya dengan sesama manusia disebut sufi.

Ketulusan kepada Allah berarti menghilangkan kepentingan-kepentingan diri untuk melaksanakan perintah Allah.
Sementara pergaulan yang baik antar sesama manusia adalah tidak mengutamakan keinginannya di atas keinginan manusia, selama keinginan mereka itu sesuai dengan syari’at. Sebab, setiap orang yang rela terhadap penyimpangan syari’at / dia yang mengingkarinya, dia bukanlah sufi. Jika dia mengaku seorang sufi, berarti dia telah berdusta.

4. MAKNA IBADAH.
Engkau pun bertanya tentang makna ibadah. Ketahuilah bahwa ibadah memelihara kehadiran bersama Al-Haqq tanpa merasakan yang lain, bahkan melalaikan sesuatu selain-Nya. Hal ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan tiga hal berikut :
1. Perhatian terhadap perintah syari’at.
2. Keridhaan terhadap Qadha, Qadhar, dan karunia Allah.
3. Meninggalkan tuntutan pilihan dirinya dan merasa senang terhadap pilihan Allah.

5. TAWAKAL DAN KEIKHLASAN.
Engkau bertanya tentang apa itu tawakal. Ketahuilah, bahwa tawakal adalah engkau meyakini apa-apa yang Allah janjikan dengan keyakinan yang tidak dapat dilemahkan oleh berbagai bencana, betapapun banyak dan besarnya bencana itu.

Demikian pula, engkau bertanya tentang makna keikhlasan. Ketahuilah, bahwa keikhlasan itu berarti bahwa semua perbuatanmu dilakukan karena Allah. Kalbumu tidak berpaling kepada sesuatu dari makhluk, baik ketika melakukan amalan tersebut maupun sesudahnya, seakan-akan engkau menyukai kemunsulan pengaruh ketaatan kepada mu dari pancaran wajahmu dan kemunculan bekas sujud pada dahimu.


Wallaualam..

Rabu, 02 Maret 2011

Syi’ah

Syi’ah (Bahasa Arab: شيعة, Bahasa Persia: شیعه) ialah salah satu aliran atau mazhab dalam Islam. Muslim Syi'ah mengikuti Islam sesuai yang diajarkan oleh NabiMuhammad dan Ahlul Bait-nya. Syi'ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi'ah. Bentuk tunggal dari Syi'ah adalah Shī`ī (Bahasa Arab: شيعي.) menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali.Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah.

Estimologi
Istilah Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab شيعة Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syī`ī شيعي.
"Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali شيعة علي artinya "pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayatkhoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali anta wa syi'atuka humulfaaizun)[1]
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara.[2] Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama di antara parasahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau.[3] Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.
Ikhtishor
Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.
Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.
Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.
Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Illahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.
Doktrin
Dalam Syi'ah terdapat apa yang namanya ushuluddin (pokok-pokok agama) dan furu'uddin {masalah penerapan agama). Syi'ah memiliki Lima Ushuluddin:
1.   Tauhid, bahwa Allah SWT adalah Maha Esa.
2.   Al-‘Adl, bahwa Allah SWT adalah Maha Adil.
3.   An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi'ah meyakini keberadaan para nabi sebagai pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia
4.   Al-Imamah, bahwa Syiah meyakini adanya imam-imam yang senantiasa memimpin umat sebagai penerus risalah kenabian.
5.   Al-Ma'ad, bahwa akan terjadinya hari kebangkitan.
Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al-Quran yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin (Al Hadid / QS. 57:3). Allah tidak terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini atau akan datang).Dimensi ketuhanan ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al-Quran yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin (Al Hadid / QS. 57:3). Allah tidak terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini atau akan datang). Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya (takdirnya) (Al-Furqaan / QS. 25:2) Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah (Al-Hajj / QS. 22:70) Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya (Al-Maa'idah / QS. 5:17) Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya (Al-An'am / QS 6:149) Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat (As-Safat / 37:96) Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan (Luqman / QS. 31:22). Allah yang menentukan segala akibat. Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya (takdirnya) (Al-Furqaan / QS. 25:2) Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah (Al-Hajj / QS. 22:70) Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya (Al-Maa'idah / QS. 5:17) Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya (Al-An'am / QS 6:149) Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat (As-Safat / 37:96) Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan (Luqman / QS. 31:22). Allah yang menentukan segala akibat. nabi sama seperti muslimin lain. I’tikadnya tentang kenabian ialah:
1.   Jumlah nabi dan rasul Allah ada 124.000.
2.   Nabi dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad SAW.
3.   Nabi Muhammad SAW suci dari segala aib dan tiada cacat apa pun. Ialah nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada.
4.   Ahlul Baitnya, yaitu Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan 9 Imam dari keturunan Husain adalah manusia-manusia suci.
5.   Al-Qur'an ialah mukjizat kekal Nabi Muhammad SAW.
Sekte dan Syi'ah
Syi'ah terpecah menjadi 22 sekte . Dari 22 sekte itu, hanya tiga sekte yang masih ada sampai sekarang, yakni:

Dua Belas Imam

Disebut juga Imamiah atau Itsna 'Asyariah (Dua Belas Imam); dinamakan demikian sebab mereka percaya yang berhak memimpin muslimin hanya imam, dan mereka yakin ada dua belas imam. Aliran ini adalah yang terbesar di dalam Syiah. Urutan imam mereka yaitu:
1.   Ali bin Abi Thalib (600661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2.   Hasan bin Ali (625669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3.   Husain bin Ali (626680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4.   Ali bin Husain (658713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5.   Muhammad bin Ali (676743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6.   Jafar bin Muhammad (703765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
7.   Musa bin Ja'far (745799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim
8.   Ali bin Musa (765818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha
9.   Muhammad bin Ali (810835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad at Taqi
10. Ali bin Muhammad (827868), juga dikenal dengan Ali al-Hadi
11. Hasan bin Ali (846874), juga dikenal dengan Hasan al-Asykari
12. Muhammad bin Hasan (868—), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi

Ismailiyah

Disebut juga Tujuh Imam; dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang dari 'Ali bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma'il. Urutan imam mereka yaitu:
1.   Ali bin Abi Thalib (600661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2.   Hasan bin Ali (625669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3.   Husain bin Ali (626680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4.   Ali bin Husain (658713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5.   Muhammad bin Ali (676743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6.   Ja'far bin Muhammad bin Ali (703765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
7.   Ismail bin Ja'far (721  755), adalah anak pertama Ja'far ash-Shadiq dan kakak Musa al-Kadzim.

Zaidiyah

Disebut juga Lima Imam; dinamakan demikian sebab mereka merupakan pengikut Zaid bin 'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak sah. Urutan imam mereka yaitu:
1.   Ali bin Abi Thalib (600661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2.   Hasan bin Ali (625669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3.   Husain bin Ali (626680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4.   Ali bin Husain (658713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5.   Zaid bin Ali (658740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baqir.
Kontrofersi tentang Syi'ah
Hubungan antara Sunni dan Syi'ah telah mengalami kontroversi sejak masa awal terpecahnya secara politis dan ideologis antara para pengikut Bani Umayyah dan para pengikut Ali bin Abi Thalib. Sebagian kaum Sunni menyebut kaum Syi'ah dengan nama Rafidhah, yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna meninggalkan.[4] Dalam terminologi syariat Sunni, Rafidhah bermakna "mereka yang menolak imamah (kepemimpinan) Abu Bakar dan Umar bin Khattab, berlepas diri dari keduanya, dan sebagian sahabat yang mengikuti keduanya".
Sebagian Sunni menganggap firqah (golongan) ini tumbuh tatkala seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba yang menyatakan dirinya masuk Islam, mendakwakan kecintaan terhadap Ahlul Bait, terlalu memuja-muji Ali bin Abu Thalib, dan menyatakan bahwa Ali mempunyai wasiat untuk mendapatkan kekhalifahan. Syi'ah menolak keras hal ini. Menurut Syiah, Abdullah bin Saba' adalah tokoh fiktif.
Namun terdapat pula kaum Syi'ah yang tidak membenarkan anggapan Sunni tersebut. Golongan Zaidiyyah misalnya, tetap menghormati sahabat Nabi yang menjadi khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib. Mereka juga menyatakan bahwa terdapat riwayat-riwayat Sunni yang menceritakan pertentangan diantara para sahabat mengenai masalah imamah Abu Bakar dan Umar.[5]

Sebutan Rafidhah oleh Sunni

Sebutan Rafidhah ini erat kaitannya dengan sebutan Imam Zaid bin Ali yaitu anak dari Imam Ali Zainal Abidin, yang bersama para pengikutnya memberontak kepada Khalifah Bani Umayyah Hisyam bin Abdul-Malik bin Marwan di tahun 121 H.[6]
§  Syaikh Abul Hasan Al-Asy'ari berkata: "Zaid bin Ali adalah seorang yang melebihkan Ali bin Abu Thalib atas seluruh shahabat Rasulullah, mencintai Abu Bakar dan Umar, dan memandang bolehnya memberontak terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai'atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakar dan Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka ia katakan kepada mereka: "Kalian tinggalkan aku?" Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka "Rafadhtumuunii".[7]
§  Pendapat Ibnu Taimiyyah dalam "Majmu' Fatawa" (13/36) ialah bahwa Rafidhah pasti Syi'ah, sedangkan Syi'ah belum tentu Rafidhah; karena tidak semua Syi'ah menolak Abu Bakar dan Umar sebagaimana keadaan Syi'ah Zaidiyyah.
§  Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata: "Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu? Maka beliau (Imam Ahmad) menjawab: 'Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakar dan Umar'."[8]
§  Pendapat yang agak berbeda diutarakan oleh Imam Syafi'i. Meskipun mazhabnya berbeda secara teologis dengan Syi'ah, tetapi ia pernah mengutarakan kecintaannya pada Ahlul Bait dalam diwan asy-Syafi'i melalui penggalan syairnya: "Kalau memang cinta pada Ahlul Bait adalah Rafidhah, maka ketahuilah aku ini adalah Rafidhah".[9]
§  Reverensi
1.    ^ Riwayat di Durul Mansur milik Jalaluddin As-Suyuti
2.    ^ Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu'ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin 'Ali Al-Awaji
3.    ^ Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm
4.    ^ Al-Qamus Al-Muhith, hal. 829
5.    ^ Baca al-Ghadir, al-Muroja'ah, Akhirnya Kutemukan Kebenaran, dll
6.    ^ Badzlul Majhud, 1/86
7.    ^ Maqalatul Islamiyyin, 1/137
8.    ^ Ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hal. 567, karya Ibnu Taimiyyah
9.    ^ Abu Zahrah, Muhammad. Imam Syafi'i: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik & Fiqih, Penerjamah: Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, Penyunting: Ahmad Hamid Alatas, Cet.2 (Jakarta: Lentera, 2005).